Langsung ke konten utama

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi


"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku. 

"Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?" 

"Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan.

Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan.

"Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?"

"Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu.

Aku masih belum puas dengan jawaban Ibu ini. "Terus kenapa kita akan beli 5 botol saja?" 

Kendati sedang sibuk menyiapkan menu buka puasa, Ibu tetap menjawab "Karena di rumah ini, Kita sekeluarga ada 5 orang. Ayahmu, Ibu, Adit, Kamu dan Asri. Konon, lampu botol yang dinyalakan sebanyak jumlah keluarga maka setiap orang akan mendapat berkah lailatul qadar." Jelas Ibu dengan senyum.

Apapun yang Ibu sampaikan, tidak mengobati rasa keingin-tahuanku lebih jauh dengan tradisi unik ini. Segera Aku mengambil smartphone. Seperti biasa, Aku bertanya kepada google. Tumbilotohe. Ya, inilah kata yang kudapatkan tentang tradisi lampu botol. Ternyata budaya ini berasal dari Gorontalo sejak abad 15. Pantas Ibu dan keluarga melakukannya, karena memang kakek kami adalah perantau dari Gorontalo.

Banyak versi yang menjelaskan maksud tumbilotohe. Jika diartikan secara bahasa tumbilo bermakna pasang sedangkan tohe adalah lampu. Selain yang Ibu jelaskan sebelumnya, filosofis dari tumbilotohe ini juga dimaknai sebagai simbol kemenangan masyarakat Gorontalo yang sebentar lagi akan mengakhiri ibadah puasa Ramadhan. Menyambut kemenangan inilah, maka digelar malam pasang lampu botol.

Walau ini merupakan tradisi peninggalan orang tua dulu, tetap saja ia bukanlah ibadah wajib yang harus dilakukan. Tradisi tetaplah tradisi. Ia menjadi kesepakatan saja. Jika masyarakat ingin mempertahankannya, silahkan. Sebaliknya, jika ingin meninggalkannya tidak akan berpengaruh pada pahala dan dosa sebagai seseorang yang menjalankan ritual keagamaan. 

Tapi aku tetap saja menghormati tradisi ini. Aku tidak mau meninggalkan keunikan sejarah yang dibuat oleh nenek moyang. Aku pernah membaca pendapat Juri Lina yang berpandangan bahwa jika ingin melemahkan atau menjajah sebuah negeri, maka lakukan 3 langkah; 

1. Kaburkan sejarahnya
2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya
3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Kekayaan tradisi haruslah dipertahankan. Aku juga yakin, tradisi nenek moyang selama mengandung unsur positif dan bermanfaat, bukanlah sesuatu yang salah. Walau setiap tradisi akan mengalami perubahan dan lebih berkembang, jika senantiasa dirawat dan dilestarikan, maka sebuah negeri akan menjadi kuat. Tidak mudah dilemahkan atau dijajah. Aku tidak mau negeriku seperti peradaban Kurdistan di Turki yang kini hanya menjadi suku kecil. Aku juga tak akan membiarkan negeriku menjadi bangsa Champa yang kini hanya menjadi bangsa kecil dipinggiran Vietnam dan Kamboja. Baik Kurdistan dan Champa merupakan peradaban besar dalam masanya. Bangsa ini dilemahkan, dijajah. Salah satu penyebabnya adalah ketika tradisi tidak lagi dipertahankan.

Kini, tumbilotohe masih menjadi kebiasaan keluarga kami dan sebagian besar masyarakat di Gorontalo. Kami akan mewarisi tradisi ini. Walau ada arah komersialisasi serta dijadikan ajang pariwisata oleh pemerintah, tetap saja tradisi ini menjadi kebanggaan kami. Selamat Jalan Ramadhan. Semoga kita berjumpa tahun depan dengan segenap amal ibadah, dan tumbilotohe.

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.