BANGUNAN MEGAH DAN IMAN KECIL


Anda pernah berkunjung dan menunaikan shalat di Masjid Islamic Centre Kalimantan Timur? Jika pernah, anda pasti akan berpikir sama denganku, bahwa Masjid tersebut memiliki struktur bangunan megah yang di hiasi dengan ukiran-ukiran kaligrafi menarik. Bagi wong deso sepertiku, melihat rumah dua tingkat saja sudah terkesima minta ampun, apalagi melihat Masjid semegah Islamic Centre yang konon menelan biaya miliyaran rupiah. Sungguh membuatku terkagum-kagum tak karuan.
Di kampung, masjid yang sering kugunakan untuk ibadah hanya dengan gubuk-gubuk beratapkan dedaunan. Meski demikian, masjid tersebut membuatku bisa khusyu’ dalam menjalankan shalat. Terasa alami, sunyi, damai dan tentram seolah sedang bersua dengan Allah Sang Khalik, begitulah nikmatnya menjalankan shalat di masjid gubuk itu. Berbeda dengan dengan Masjid Islamic Centre. Terlalu ramai dan bising. Mulai dari hiasan yang ‘narsis’ hingga suara kipas angin yang berputar seolah kita berada di sebuah kapal penumpang yang akan mengantarkan kita mudik ke kampung halaman. Ayahku pernah berkata, "kalau kamu mau buar air kecil, posisinya harus jongkok biar sopan, dan ini sunnah nabi". Di Islamic, fasilitas tempat buang air kecilnya modern, Aku harus berdiri. Islam yang mengajarkan etika, tapi masjid sebesar itu mengajarkan hidup modern yang lupa etika.
Shalat di bangunan megah membuatku banyak berpikir buruk. Bagaimana pemerintah kok mampu menciptakan masjid sebesar ini? Bukankah biaya yang digunakan adalah uang rakyat sendiri, mulai dari orang Islam sampai yang tidak beragama sekalipun. Yang saya pikirkan, warga di kampung banyak yang hidup miskin, kelaparan dan sulit mendapat pekerjaan. Saya jadi ketakutan. Anak isteri sedang lapar menunggu dirumah gubuk, sementara saya merasa bangga dapat masuk di bangunan megah.
Shalatku jadi kacau. Imanku terlalu kecil. Aku bukanlah Imam Al-Ghazali, yang pernah diceritakan ustadz di kampung, bahwa Al-ghazali itu kalau shalat sangat khusyu’, beliau sudah melupakan dunia ketika “bertemu” dengan Tuhan. Meski kita berada di samping Imam kemudian berteriak, tidak akan mengganggu konsentrasinya yang sedang shalat. Imam Al-Ghazali berada di manapun, ketika shalat, mampu menjaga stabilitas ibadahnya. Aku hanya orang awam. Yang butuh belajar banyak untuk menjadi muslim yang taat.
Ini baru Masjid Islamic Centre, bagaimana jika aku mendadak berangkat ke Makkah, shalat di Masjid yang 10 kali lipat lebih megah dari pada Masjid Islamic Center?
Aku masih belum mampu melihat kemegahan dunia, pasti terlena. Aku jadi teringat lagi nasehat ustadz di kampung, “Sesuatu yang mengherankan adalah Dunia. Tapi lebih mengherankan lagi, ada manusia yang cinta dunia”. Aku jadi semakin takut. Aku takut kalau Allah melaknatku karena tidak menghadap-Nya dengan benar. Aku takut kalau keluar dari masjid akan kualat karena berpikir buruk. Ya Allah, ampuni hambamu. Aku pun tidak tahu mengapa pikiranku dirasuki dengan hal-hal seperti ini.
Mendengar keluhanku, seorang jama’ah, kebetulan sedang ibadah di masjid yang sama, menyarankan untuk mengikuti pelatihan shalat khusyu. Awalnya aku tertarik, tapi, aku jadi termenung lagi, karena kata jama’ah tadi, pelatihan itu di adakan di hotel-hotel berbintang oleh lembaga sosial keagamaan. Lagi-lagi bangunan megah. Aku berpikir, sedangkan di masjid, rumah Allah saja aku gelisah, apalagi di hotel-hotel megah, yang sepengetahuanku banyak maksiatnya, bahkan akhir-akhir ini teroris mengincar hotel-hotel besar.
Aku ingin seperti Al-Ghazali. Dia bisa khuysu’ tanpa ikut pelatihan di hotel. Kuputuskan, biarlah aku mencari bagunan gubuk sehingga ibadah ku berjalan lancar. Daripada sebuah bangunan ciptaan modernism yang membuat saya banyak berpikir buruk. Maafkan ya Allah, hamba-Mu tidak bermaksud melecehkan rumah-Mu. Tapi Hamba ingin bertanya, apakah Engkau ridha dibuatkan rumah besar di tengah masyarakat yang sedang membutuhkan sepiring nasi? Apakah Engkau membiarkan kemiskinan berlanjut sedangkan rumah-Mu memiliki hiasan-hiasan bermiliaran rupiah.
Aku tau ya Allah, bahwa Engkau tidak akan merubah nasib suatu kaum, melainkan kaum itu yang merubahnya. Tapi masyarakat di kampung itu sering berdo’a. Agamanya-pun beragam. Mereka berdo’a untuk terhindar dari siksa penderitaan. Namun perubahan itu tidak terlihat sama sekali. Yang ada, kepala desa semakin korup. Aku tak sanggup ya Allah. Biarkan aku “bertemu” dengan-Mu di Gubuk kecil ku. Dan kunikmati kemiskinanku dengan Ridha-Mu.

Entri Populer

Labels

Blog Archive