Langsung ke konten utama

Karena Beda Aku Dewasa


Oleh: M. Taufik Bilfagih*
Pada tahun 2004, Bill menjadi seorang pemuda Kosiem (Komunitas Islam Emansipatoris). Selama empat hari, dia mengikuti pendidikan Islam Emanasipatoris dan dilatih secara intensif di Auditorium MAN Model Samarinda, di mana tempat itu adalah wadah pengkaderan komunitas Islam Emansipatoris dalam bentuk pendidikan dan pelatihan. Dia mempelajari paham agama dalam pandangan tafsir emansipatoris yang sangat kekinian (kontekstual), bentuk Islam Emansipatoris, visi dan misi Islam Emansipatoris dan gerakan serta wacana Islam Emansipatoris, semuanya diperolehnya melalui pendidikan tersebut. Dia pulang dengan membawa sertifikat dan banyak wacana ke-Islaman dari sana. Dan disaat itulah dia resmi menjadi anggota Kosiem dan harus mengamalkan apa yang menjadi visi dan misi Kosiem (Humanis, Kritis, Transpormatif dan Praksis. Red).

Segera setelah kembali ke kampusnya (STAIN Samarinda), dia aktif memperjuangkan paham Islam Emansipatoris dengan mengadakan kajian setiap malam minggunya, menerbitkan buletin, dan mencoba mengkritik problem ke-Islaman yang terjadi di kampusnya (karena di kampusnya, tidak sedikit dosen dan mahasiswanya berwatak konservatif alias kuno). Dia merasa sangat berbahagia ketika mushallah Al-Dien dikampusnya sering dijadikan tempat diskusi kajian wacana-wacana kontempoer serta dinding-dinding kampusnya yang penuh dengan buletin At-Taharrur—salah satu buletin yang tersohor di STAIN terbitan Kosiem Kaltim. Sebagai kader Komunitas Islam Emansipatoris, dia berhasil memberikan warna-warni dalam memahami Islam kepada kampusnya yang kebanyakan komunitasnya berkarakter feodal.

Dua tahun kemudian, Bill masih menjadi pemuda dan kader militan Kosiem apa lagi dia menjabat sebagai Public Relation di Kosiem Kaltim. Tetapi kini dia bekerja sama dengan tokoh-tokoh HTI dan bahkan sedang jatuh cinta dengan salah satu wanita HTI berjilbab besar alias “jilbaber” yang tadinya dikritik melalui penafsiran emansipatorisnya. Dia bersama tokoh-tokoh HTI tersebut mengelola sebuah organisasi baru yang membantu bagi mereka berekonomi lemah. Para jamaahnya tak lagi mempersoalkan ke-Kosiemnya yang dianggap terlalu ‘enteng’ memahami agama.

Rupanya banyak orang seperti Bill, berasal dari HTI, PKS, FPI, Jamaah Islamiyah, dll. Pada saat sebagian anggota Kosiem mulai mengamalkan kajian diskusi keagamaan, sebagian HTI meninggalkannya. Dahulu HTI menyebut dirinya benar, sedangkan Kosiem dan kawan-kawan sebagai kaum kafir dan liberal. Sekarang Kosiem dan kawan-kawan menyatakan dirinya benar; sementara HTI lebih liberal dari Wahabi (alias terlalu fundomental). Kini, khususnya pada kalangan anak-anak muda, ikhtilaf pendapat dan firqoh tidak lagi menjadi fokus perhatian. Buat mereka, tantangan yang dihadapi umat Islam jauh lebih besar daripada perbedaan dalam cara-cara beribadat dan berpendapat.

Lebih dari itu, sekarang orang menyadari bahwa perbedaan mazhab fiqih dan perbedaan pendapat itu seringkali dibesar-besarkan untuk kepentingan politik. Kesadaran bahwa konflik mazhab atau firqoh itu lahir dari kepentingan politik adalah fakta sebuah sejarah. Bukankah dua mazhab awal --Sunni dan Syiah-- muncul karena perbedaan visi politik?

Dalam suatu kajian di STAIN, Samarinda, disimpulkan bahwa firqoh-firqoh sejalan dengan perkembangan sistem politik. Yaitu bagaimana firqoh ini yang menguasai atau firqoh itu yang berkuasa dalam suatu wilayah (negara maupun dunia). Kesadaran inilah tampaknya mengubah Bill belakangan ini. Sehingga ia pun tak mempedulikan lagi mana Kosiem dan mana HTI, siapa salah dan siapa yang benar. Yang dia tahu hanyalah “Al Haqq min Rabbiq…”. Kebenaran manusia masih bersifat relatif dan nisbi, dan iapun mencoba mencari kebenaran melalui firqoh-firqoh yang ada.

Barangkali orang-orang seperti Bill ingin mengikuti tradisi para imam yang ada (imam fiqh) dimana mereka memiliki argument tersendiri dalam persoalan pendapat dan beribadat. Namun mereka tetap menghormati dari apa yang menjadi pedoman dari imam lain ketika mereka berada di wiliyah imam yang lain tersebut (contoh kecil yakni persoalan kunut). Selain itu, terkait persoalan fiqh mungkin seorang Bill sedang merefleksikan dari apa yang pernah terjadi di jaman para sahabat, Ibnu Mas'ud. Ibnu Mas'ud kecewa betul ketika mendengar Khalifah Utsman shalat Zhuhur dan Ashar sebanyak masing-masing empat rakaat di Mina. Utsman r.a. dianggap telah meninggalkan sunnah Rasulullah SAW. Tetapi, ketika Ibnu Mas'ud shalat berjamaah di Mina di belakang Utsman r.a., ia shalat seperti shalatnya Utsman r.a. Ketika orang mempertanyakan hal itu, Ibnu Mas'ud berkata,"Bertengkar itu semuanya jelek!" (Hadist Riwayat Abu Dawud).

Artinya, apakah hari ini kita akan mempersoalkan perbedaan yang sudah jelas memiliki hikmah dalam performa kehidupan. Apakah kita akan selalu bertengkar dari persoalan perbedaan. Semua itu bukanlah hal yang subtansi, melainkan bentuk pemecah belahan umat. Karena jelas dalam nash Qur’an bahwa “Wa’ tashimuu bi hablillah jamiiaa walaa tafarraquu…” Dan berpegang teguhlah kepada tali agama Allah dan janganlah bercerai berai… “Innal Mu’minuuna Ikhwatun, fa ashlihuu…” Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara maka damaikanlah…

Hari ini sudah saatnya bangsa Islam bangkit dari ketertinggalannya, hari ini sudah saatnya umat muslim memberikan kontribusi yang signifikan bagi kehidupan dunia. Jangan terlalu larut dengan wacana akhirat, sementara di dunia kita hanya selalu mementingkan diri sendiri bahkan firqoh kita sendiri. Belajarlah dari fenomena kehidupan Bill yang mencoba melihat segala sesuatu dari berbagai macam aspek. Semoga bentuk memahami perbedaan adalah sebuah cara untuk menyatukan umat bukannya penghancur. Hindari pertengkaran. Bertengkar itu kada’ nyaman. Hidup Bill, karena memahami perbedaan diapun mulai tumbuh lebih dewasa dalam memahami segala bentuk skenario Tuhan sang “Sutradara”

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...