Lagu manca, antara ‘kafir’ dan ‘Islami’[*]


Oleh:
Taufik bilfagih[†]
Agak sedikit bingung untuk memahami judul tulisan saya di atas, dan mungkin sebingung saya
berpikir terhadap realitas frem berpikir masyarakat (Samarinda) hari ini (yaa,
nggak semualah). Tentu pemikiran yang mengganggu dan mengusik hati saya adalah
mapannya sebuah paradigma berpikir masyarakat tentang mengukur baik-tidak,
sesat-tidak, boleh-tidak, dan bisa tidaknya memutar lagu berbahasa Inggris di
radio ‘Islami’ (dakwah). Kebetulan (sekedar informasi) saya hari ini sedang
duduk sebagai penyiar salah satu radio dakwah Samarinda, Radio Darussalam
FM. Radio ini milik sebuah Yayasan, yaitu Yayasan masjid raya Darussalam Samarinda
di jl. KH. Abdullah Marisie.

Darussalam Fm
adalah radio yang sangat digemari oleh kaum muslimin setempat. Dan kebanyakan
darinya adalah orang tua. Betapa tidak, program acara yang disajikan selama
satu hari penuh berorientasi pada nilai-nilai ibadah (ritual), seperti ceramah
dakwah, relay shalat dengan masjid, dialog interactive (wacana ibadah, ritual,
aqidah), dan memutar lagu-lagu shalawat (qasidah). Sementara nuansa hiburan
lagu-lagu persada hanya dua jam dalam sehari _itu pun jika pada pukul 13.00
siang tidak ada ‘muallaf’ di masjidnya, karena pasti akan di relay.
Terlepas dari persoalan itu, dalam kesempatan penulisan kali ini saya tidak
terlaru larut dengan memperkenalkan apa itu radio Darussalam. Dan yang jelas
radio ini berorientasi pada dakwah agama Islam.

Dakwah adalah
salah satu kerja-kerja yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw sebagai
pembawa risalah Tuhan. Tentu berbagai macam syiasah yang beliau terapkan
dalam rangka melancarkan misinya sudah terlaksana. Namun memang pada zaman
tersebut kanjeng Nabi saw tidak menyiarkan agama Tuhan dengan menggunakan
radio, tv, Koran, hp, dan lain-lain yang pada hari ini menjadi alat untuk
mengembangkan tugas sebagai pendakwah. Untuk konteks radio, Darussalam fm
adalah sebuah media yang menjadi alat bagi ‘tentara tuhan’ untuk menjadi
‘rasul’ jaman sekarang di Samarinda. Namun, satu hal yang meracuni akal saya
adalah Darussalam fm sangat meng-haram-kan untuk memutar lagu yang berbahasa
Inggris. (Sebelumnya saya katakan, sebenarnya saya juga tidak mengerti
bahasa inggris, karena bahasa NUsantara juga lebih asyik).

Saya sempat
memutar satu track manca yang dibawakan oleh Josh Groban, You raise
me Up, yang tentunya lagu ini bermuatan misi-misi kemanusian, bahwa
bagaimana pesan-pesan untuk dapat memberikan semangat antar sesama. Namun,
disaat itupun saya langsung di hujat oleh pihak pendengar maupun pihak Yayasan masjid.
Ungkap pendengar itu begini, “halo, mas,,, coba yang di putar itu lagu-lagu
yang bernuansa Islami lagu yang mas putar inikan lagu orang barat” dan saya
menjawab “waduh, mohon maaf pak, insya Allah lagu yang saat ini anda dengar
adalah lagu yang bermuatan Islami, jadi mohon maklumnya!!”. Tiba-tiba bapak itu
membentak saya, “eh,,, mas, anda jangan mau menggurui saya ya! Udah jelas itu
lagunya orang kafir malah dibilang Islami, sampean tau agama apa tidak?” disaat
itu saya merasa bersalah karena telah mengecewakan pendengar, dan itu tidak
boleh terjadi dalam system management radio, sebab kami harus memuaskan setiap
pendengar. Selang beberapa waktu kemudian, dari pihak yayasan menelpon saya,
“halo bill,,, kamu kenapa mengudarakan lagu-lagu barat? Tadi ada yang telpon ke
yayasan, dan pendengar marah-marah.” Ternyata bapak yang ngomel-ngomel tadi, setelah
membentak di studio, beliau langsung ngoceh di pihak yayasan. Wah,,, kasusnya jadi rumit nihh…

Namun saya
tidak gentar, saya juga menjelaskan kepada pihak yayasan dengan bermohon maaf
sebelumnya. Dan saya gambarkan bahwa track manca yang saya udarakan tersebut
adalah salah satu lagu yang sarat akan makna filosofis kemanusiaan. Lagu itu
juga tentu sesuai dengan misi-misi Tuhan dalam qur’an. Khairunnas anfa’u li
al-nass…

Saya kira,
setelah saya memberikan klarifikasi terhadap pihak yayasan, saya akan
mendapatkan dukungan. Tapi yang terjadi saya malah di omelin. Ujar orang
yayasan itu begini, “bill, lagu barat itu lagunya orang kafir, dan pendengar
tidak mengerti dengan apapun esensinya. Usahakan lagu bahasa inggris jangan di
udarakan!!!” saya bertanya, “terus,,, apa lagu-lagu bahasa Arab yang kita
udarakan bisa dipahami semua pendengar? Sedangkan lagu yang berbahasa Arab
tidak semua lagu bernuansa shalawat pak, jadi jangan terburu-buru untuk
memfonis!”

Merasa
dinasehati, tiba-tiba saya di panggil ke secretariat. Waduh, saya berpikir
kalau bukan

surat

peringatan, saya
mungkin langsung dipecat. Ehh, setiba di kantor saya malah disuruh minum kopi,
kebetulan ada tamu, jadi bapak dari pihak yayasan yang tadinya ngomel, nda jadi
dech…

Pada intinya,
di hari itu saya bagai penjahat yang menjelma sebagai karyawan radio dan akan
menghancurkan citra yayasan, sehingga saya harus diadili. Padahal, lagi-lagi
kasusnya hanyalah memahami sebuah lagu yang bernuansa islami atau tidak. Hari ini
harus ada kerja-kerja kebudayaan dalam rangka memberikan info kepada masyarakat
bahwa ukuran islami bukan dilihat dari “bahasa” yang keluar dalam setiap lagu,
namun makna yang tersirat dalam kandungan track itulah yang harus diambil
hikmahnya.



Pengaruh Arabisme

Beginilah
jadinya jika suatu ajaran yang awalnya lahir dari sebuah tempat, yang
menjadikan corak kebudayaan asli dari tempat itu akan mempengaruhi tempat yang
lain apabila ajaran itu di sebarkan. Lahirnya “Islam” di Negara

padang

pasir inilah sehingga menjadikan setiap umat berpikir bawa apa-apa yang menjadi
produknya harus dibawa ke tanah air. Padahal konteks Negara satu dengan yang
lainnya sangat berbeda jauh. Segala yang bernuansa Arabis maka itu adalah
ukuran Islami.

Coba kita
perhatikan pada kasus di atas. Memutar lagu berbahasa Inggris yang di bawakan
oleh orang Barat (non Muslim) sangatlah dianggap tidak ‘etis’ bahkan bisa
dikatakan haram. Sementara track

padang

pasir (lagu-lagu arab/samrah)lebih bagus dan dianggap Islami. Padahal kita lupa
bahwa kebanyakan yang menyanyikan lagu-lagu samrah juga adalah orang Yahudi,
bahkan mereka menari dengan menggunakan pakaian you can see. Belum lagi
kalau kita mempelajari makna-makna lagunya, ada yang tentang percintaan,
mmemuja-muja orang lain, mengeluh terhadap kondisi kehidupan bahkan ada lagu
berbahasa Arab yang mengandung arti memuja Agama lain.

Arabisasi kini
telah terjadi besar-besaran. Maka dituntut kepada kita semua, untuk menghalang
lajunya. Mari kita melirik kepada Barat, yang hari ini punya kemampuan untuk
menguasai dunia. Meski ada banyak hal yang harus kita lawan kepada Barat,
karena mereka juga terlalu menghegemoni dunia, sehingga kitapun terkadang
terkapar berlutut padanya. Umat Islam dituntut untuk menjadi pemain bukan hanya
menjadi penonton. Dengan begini, baru kita bisa melihat kebesaran Islam. Wallahu
‘alam…

[*]
Tulisan ini tidak bermaksud menjelekkan, baik kepada pihak manajemen radio maupun
pendengar. Namun hanya sebuah keritikan tentang metode Dakwah, yakni Radio
Darussalam harus memberikan info kepada masyrakat tentang defenisi ‘Islami’.
Bukan menjadi oknum penyebar Arabisasi.

[†]
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Dakwah STAIN Samarinda yang kini menjabat
sebagai mantan ketua umum HMJ Dakwah, Wakil Presma BEM STAIN Samarinda, aktivis
PMII komisariat STAIN Samarinda, aktivis Naladwipa bahkan sebagai penyiar Radio
Dakwah Darussalam fm Masjid Raya Samarinda.

Entri Populer

Labels

Blog Archive