Langsung ke konten utama

Media dan Hegemoni oleh: Taufik Bilfagih


Globalisasi merupakan peristiwa yang paling "tersohor" pada sekitar abad 21. Bahwa dunia akan diseragamkan dan menghapus identitas dan jati diri serta kebudayaan lokal yang di "makan" oleh kekuatan global. Dan begitulah Globalisasi. Alvin Toffler menyebutnya "dunia ketiga", setelah agrikultur (dunia pertama) dan industri (dunia kedua). Pergeseran yang terjadi adalah kekuasaan dari pusat kekuasaan dengan sumbernya yakni tanah, lalu kapital (modal), dan selanjutnya penguasaan terhadap informasi (sains dan teknologi). "kejahatan dan imprealism pengetahuan"


'Hegemoni' (Antonio Gramsci) tidak hanya berkaitan dengan dominasi politik, berupa kekuatan, tetapi juga dengan dominasi budaya, melalui bahasa. Pada sistem kekuasaan yang dibutuhkan bukan hanya 'kekuatan' (senjata militer), namun yang diperlukan
juga "publick consent" (penerimaan publik) yang didapat melalui mekanisme kepemimpinan kultural, begitu juga peguasaan bahasa.Sistem kekuasaan seringkali menggunakan bahasa sebagai alat hegemoni. mekanisme yang dilakukan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang bagi bahasa-bahasa lain, karena dianggap
ancaman. Kedua, ketika bahasa digunakan menyampaikan informasi yang berafiliasi dengan kepentingan kekuasaan. Bahasa, disini semata menjadi perpanjangan tangan dari sebuah sistem kekuasaan hegemonis, sebuah kran untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan ideologi dominan. wal-Hasil, penguasapun menggunakan bahasa untuk menikmati kekuasaan.


Persoalan bahasa di media menarik untuk dikaji. Sebab bahasa di Media bisa menghegemoni sebagian masyarakat sehingga mereka harus mengikutinya (membenarkan, melihat, mendengar dan mendiskusikan). Terkadang, hegemoni dapat diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui konsensus, dan bukan melalui paksaan. "Gairah" hegemonipun sangat dalam, bagaimana ia masuk ke wilayah pemikiran dan perasaan masyarakat, bergerak di wilayah publik dan wilayah domestik. Coba perhatikan, media televisi kita selalu memproduksi tayangan-tayangan hyperealita (sok begini bangeet), contohnya seperti sinetron atau infotaiment. Sadar atau tidak (kebanyakannya tidak), masyarakat dihipnotis oleh tayangan media, akibatnya memandulkan kesadaran realita. Sudut lain, bahasa-bahsa yang dipakai infotaiment pun sering diekspresikan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, 'lebay' 'kembali ke laptop', 'no comment', ataupun bahasa iklan lainnya.


Lewat bahasa media, manusia - baik individu maupun kelompok - dibentuk seragam dalam menginterpretasikan bahasa. Uniknya, penyeragaman penafsiran bahasa ini menjadi ciri khas tersendiri. Tidak heran jika ada 'manusia latah' disekitar kita. Bahkan, hal ini "sudah menjadi tradisi" (ungkap salah satu iklan TV). Akhirnya, lahirlah manusia-manusia pasif secara sadar atau tidak (lagi-lagi kebanyakan tidak). Manusia yang hanya berpikir tentang hal menyenangkan atau tidak menyenangkan baginya. Dan kegiatan yang bersifat baca-tulis terasa berat untuk dilakukan, karena mereka terbiasa menjadi penonton; kita menjadi masyarakat intip, yang bersifat 'penyontek' alias jadi masyarakat issu. Kasusnya, bahasa media ini akan dijadikan sebuah kebenaran tunggal. Dekonstruksionis strukturalisme, Jaques Derrida, berpandangan, bahwa makna bahasa selalu tertuntda, menunggu baerbagai hal yang datang dari luar dan mempengaruhi dirinya. Dimana pembaca/audienc harus aktif dan kritis dalam menghadapi pilihan-pilihan media yang begitu luas pada era globalisasi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bahasa tidak memiliki pemaknaan yang tunggal dalam mempresentasikan fenomena yang ada.

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...