Langsung ke konten utama

Piala Dunia Merebut Hak Hidupku, Oleh Taufik Bilfagih



Malam itu jantungku berdebar. Secara kaget aku terbangun dari tidur lelapku. Suara teriakan segelintir orang membuatku gugup ketakutan. Sepintas dalam benakku memikirkan bahwa teriakan tersebut semacam gemuruh orang ketika kerusuhan. Wajar jika aku berpandangan demikian, karena tempatku tinggal, banyak pemuda yang sering mabuk-mabukan setiap malam. Sambil berjalan miring, biasanya mereka juga berteriak sekuat-kuatnya (istilah orang manado; bakuku) bahkan terkadang melempar benda keras ke salah satu atap rumah warga. Hal ini mungkin sebagai simbol bahwa mereka adalah orang-orang perkasa yang bisa menaklukkan siapa saja yang berani melawan. Tentunya, ini akan memancing kemarahan warga sekitar. Lebih jauh lagi akhirnya berpotensi kerusuhan. Lebih mengkhawatirkan lagi, di daerahku, dihuni oleh komunitas yang berbeda-beda, baik agama, suku, ras dan kepercayaan (multikultural), pastinya prilaku pemabuk tadi akan berpotensi SARA.
Ah,,, kudengar lebih teliti lagi, teriakkan tadi berbeda seperti biasanya. Teriakkan kali ini semacam kompak dan sedikit unik. Terkadang terkesan bahagia, kadang juga intonasi teriakkannya sedikit kecewa. Segera kulihat jam dinding, pukul 02.45 wita. Oh, pantas. Ternyata suara brisik itu adalah ekspresi pencinta bola yang sedang menyaksikan pertandingan tim kesayangan mereka pada pertandingan sepak bola piala dunia. Jika tim yang diidolakan mencetak gol, maka suara teriakan terkesan riang dan gembira. Jika sebaliknya, tim mereka kebobolan, kompak teriakan berintonasi kecewa.
Syukurlah, ternyata dugaan pertamaku keliru. Keramaian tadi bukan kerusuhan. Melainkan ekspresi dan selebrasi pecinta sepak bola dalam suasana nonton bareng. Perlahan-lahan jatungku kembali normal, aku tidak gugup lagi. Namun, aku sedikit emosi. Aku kecewa terhadap mereka yang tidak menghargai orang lain yang ingin istirahat menikmati gemerlapnya malam. Pola seperti ini harus dihentikan. Ini adalah kebiasaan buruk. Pertama, kebiasaan seperti ini mengganggu istirahat warga. Kedua, akan memancing emosi warga lain yang akhirnya menyebabkan konflik horizontal. Dan ketiga, tentu saja akan mendidik orang untuk tidak memiliki sikap tenggang rasa.
Pada akhirnya, aku berpandangan ternyata pagelaran akbar piala dunia telah merebut hak asasi manusia. Lewat hegemoninya, piala dunia telah mencetak masyarakat tidak produktif bahkan tidak berprikemanusiaan. Kita telah dibutakan oleh modernisasi berkedok olah raga. Lewat piala dunia pulalah pemuda-pemuda rela hutang bahkan megambil uang orang tuanya untuk ikut bergabung dalam bursa taruhan. Yang miskin semakin miskin yang kaya semakin berjaya.
Piala dunia mungkin tidak bersalah, namun bangsa kita belum siap untuk megimbangi hegemoni globalisasi dan modernisasi berkedok olah raga seperti piala dunia. Alih-alih untuk perdamian dunia, tetap saja Iraq dihajar. Negara-negara kecil di jajah. Pemain bolanya semakin tenar dan berduit, semantara kita hanya menjadi korban hegemoninya.
*penulis adalah pegiat muda yang

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.