Dari Pencerahan Menuju Pergerakan Sebagai Upaya Revitalisasi Diri Menuju Pribadi Rahmatan Lil ‘Alamin (Refleksi Awal Tahun)*


Oleh: Taufik Bilfagih, S. Sos. I **
Nabi Muhammad, dalam proses perjuangannya, melakukan Hijrah dari Mekah menuju Madinah yang merupakan simbol babak baru. Selama 3 hari beliau bersembunyi di Gua Saur ditemani Abu Bakar setelah lolos dari kepungan kaum Quraisy di rumahnya. Dengan ketabahan, setelah merasa aman, Nabi dan Abu Bakar melanjutkan perjalanan sangat meletihkan, menempuh panas yang membakar, mengarungi lautan pasir berbukit-bukit, berkeringat deras hingga kehausan. Demikian menurut pendapat sebagian ulama dalam menggambarkan situasi perjalanan Sayyidul Wujud Muhammad Saw.

Hijrah yang dilakukan Nabi merupakan instruksi langsung dari Allah. Bukan karena takut terhadap siksaan dan ancaman, bahkan karena ke-putusasa-an Nabi dalam berdakwah di Makkah. Tidak takut karena ancaman maupun siksaan melainkan kepekaan Nabi terhadap sahabat-sahabat kesayangannya yang selalu mendapat perlakuan keji kaum Quraisy. Semangat sosial inilah yang menginspirasi beliau dengan memulai strategi perjuangan baru di Madinah, untuk membebaskan berbagai ketertindasan sosial yang terjadi secara kolosal di Semenanjung Arabia. Salah satu strategi untuk membangun kesepakatan sosial kemasyarakatan dengan seluruh eleman masyarakat Madinah, Nabi mempersaudarakan antara Komunitas Muhajirin dan Ansor, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah (Madinah Carter), hingga akhirnya memberi nama Madinah terhadap kota tujuannya tersebut yang sebelumnya bernama Yatsrib.

Dari sini dapat dibuktikan sejarah demokrasi telah terlihat, yakni pada tatanan hidup sosial kemasyarakatan yang dicipta Nabi di Madinah. Jaminan kebebasan, persamaan derajat, dan kesempatan berekspresi, merupakan babak baru kehidupan Madinah. Nampaknya Nabi ingin mengajarkan akan pentingnya menggugat penindasan sosial. Nabipun mengarahkan peradaban manusia yang menuju kesejahteraan dan ketertiban sosial.

Bagi saya, berbagai ketertindasan sosial yang melanda dunia saat ini harus digugat lewat spirit momentum Hijriah 1432. Kehadiran setiap nabi dan rasul di muka bumi bukan sekadar membawa wahyu berupa ibadah ritual. Membebaskan masyarakat dari ketimpangan serta ketertindasan sosial bagian dari esensi hadirnya mereka. Muhammad sampai harus diusir dari Mekah, Musa diburu-buru Firaun, Ibrahim akan dipenggal dan dibakar oleh Namrud, Isa dikejar-kejar oleh penguasa suku. Karena kegigihan dan keikhlasan di tengah hegemoni kekuasaan, mereka justru menjadi Rasul terpilih (ulu al-azmi) yang spirit perjuangannya selalu dikenang dan menjadi teladan pejuang kemanusiaan dalam menggelorakan perlawanan atas penindasan.

Nabi telah membebaskan kaum lemah Arab dari hegemoni penguasa di Arab. Melalui dakwahnya, beliau mengangkat harkat dan martabat kaum budak, kaum miskin, dan kaum perempuan. Mereka kemudian menjadi orang yang tangguh, dan menyerahkan hidupnya untuk menopang perjuangan Nabi dalam membebaskan kaum Arab dari penindasan sosial. Karena spirit inilah, Asghar Ali Engineer melihat Islam sebagai agama pembebas dan Muhammad sebagai Nabi pembebas. Bagi Engineer, nabi sukses melaksanakan tugas profetiknya dalam membebaskan kaum tertindas Arab, dan bahkan Nabi menjadi teladan utama dunia dalam memangkas penindasan.

Kaum tertindas yang dijelaskan dalam Alquran antara lain fakir, miskin, anak yatim, peminta-minta, dan hamba sahaya. Mereka, dalam apa pun, termasuk konteks keindonesiaan, adalah kaum tertindas. Ketertindasan bukan sekadar peminggiran ekonomi, tetapi juga peminggiran hak-hak sosial, hak politik, dan budaya.

Indonesia dan Keadaannya

Di antara nikmat Tuhan yang besar ialah: Dia telah menempatkan kita pada suatu negeri dengan kekayaan yang berlimpah. Begitu indahnya negeri ini, hingga bangsa lain menyebut pulau-pulau di Indonesia sebagai “untaian zamrud di katulistiwa.” Kemudian, selama puluhan tahun, dengan izin Tuhan kita hidup makmur, hingga bangsa lain melihat negeri kita sebagai salah satu “macan Asia yang sedang bangkit.” Kita dicukupi dalam sandang, pangan, dan papan. Tiba-tiba kemakmuran yang kita bangun dengan susah-payah diporak-porandakan oleh “badai” yang sulit berlalu. Tahun-tahun kemarin Indonesia dihiasi berbagai macam musibah. Indonesia dikunjungi berbagai macam beban multy-krisis yang berkepanjangan. Kita sudah dihantam dengan Tsunami, kebakaran, lumpur lapindo, kelaparan dan berbagai kecelakaan, serta terakhir gempa, banjir dan merapi.

Hari ini dada kita sesak karena harga-harga melambung tinggi. Jutaan saudara kita kehilangan pekerjaan. Lebih banyak lagi yang terjerumus ke dalam jurang kemiskinan. Yang masih bekerja dibayang-bayangi ketakutan bakal dirumahkan. Ketika dua ratus orang Indonesia tertawa renyah menukarkan dolar mereka, dua ratus juta saudara kita yang lain harus mengurut dada karena sulitnya mencari rupiah. Belum lagi kasus-kasus kekerasan yang menghiasi bangsa ini. Atas nama agama, mereka memporak-porandakan bangunan-bangunan yang ada di Indonesia; Hotel, tempat hiburan, bahkan tempat suci sekalipun (masjid, gereja maupun tempat ibadah sebuah aliran kepercayaan). Mengerikan. Tahun-tahun kemarin, langit Indonesia kelabu.

Kita tidak tahu berapa persen orang Indonesia yang mengakhiri kehidupannya di tahun kemarin dengan perasaan tidak berdaya. Mereka berada pada berbagai lapisan. “Petani” yang tanahnya digusur tanpa mendapat ganti rugi yang memadai. PKL yang kejar-kejaran dengan SATPOL PP. Para pencari kerja yang tidak tahu apakah ia mendapat pekerjaan atau malah kehilangan uangnya. Gadis-gadis desa yang dilemparkan ke negeri asing tanpa perlingdungan kerja, setelah keluarganya menghabiskan kekayaan untuk “membiayai” mereka. Para pengusaha yang sewaktu-waktu bisa bangkrut, bila bertentangan dengan kepentingan pengusaha yang lebih besar. Rakyat yang tidak tahu bagaimana menghindar supaya tidak menjadi korban penyalah-gunaan wewenang kaum birokrat. Para pengikut aliran kepercayaan yang berbeda dengan maenstreem harus siap diterror dan kehilangan tempat suci mereka karena dibakar massa.

Rasa tidak berdaya yang sudah menyebar luas ini disebut keterasingan (alienasi). Banyak orang tidak mengerti lagi aturan main yang benar. Mereka berhadapan dengan situasi yang tidak pasti. Mereka tidak dapat menentukan perilaku yang mereka kehendaki. Mereka kehilangan kemauan bebasnya. Tahun alienasi itu harus pergi.

Spirit membebaskan kaum tertindas yang dilakukan Nabi harus kita jadikan refleksi dalam momentum Hijriah 1432 sekarang, terlebih lagi dalam konteks keindonesiaan. Krisis berkepanjangan yang tak kunjung usai dan berbagai praktik penindasan sosial yang terus menyeruak di berbagai lapisan masyarakat perlu mendapatkan solusi strategis dari seluruh komponen bangsa. Umat Islam sebagai mayoritas bertanggung jawab mencipta solusi strategis dengan menyerap spirit perjuangan Nabi Muhammad, sehingga umat Islam tidak hanya sibuk dengan praktik ritual. Umat Islam dan umat beragama lainnya seharusnya menjadi tulang punggung dalam mengatasi krisis berkepanjangan sebagai manifestasi ahli waris ajaran para nabi yang luhur.***

*Tulisan ini dipresentasikan pada acara Refleksi 1 Muharram 1432 H, yang diselenggarakan Badan Tazdkir Kampus UNIMA Tondano, Minahasa.
**Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UNSRAT Manado Jurusan Pengembangan Sumber Daya Sosial. Saat ini aktif sebagai Ketua OC Yayasan AlHIKAM Manado yang bergerak dibidang dakwah sosial.

Label:

Entri Populer

Labels

Blog Archive