Aku Ini Orang Kampung

(Sebuah Derita TKI di Negeri Saudi)

Aku ini orang kampung. Aku tidak mengerti agama. Dari pak Kiai di kampung, aku belajar ngaji, shalat, puasa, dan wirid. Aku sekeluarga berusaha mengabdi kepada Allah dengan cara orang awam; tetapi kami kepingin ibadat yang kami lakukan diterima Tuhan. Aku juga mencintai Nabi Muhammad saw. Aku tidak tahu banyak tentang beliau; tapi aku kepingin beliau memberikan syafaatnya kepadaku nanti. Untuk itu aku selalu mengamalkan shalawat dan bertawassul serta mengajarkannya kepada anak-anakku.



Kalau menyebut nama Nabi, aku teringat Makkah dan Madinah. Aku kepingin betul naik haji dan berziarah ke makam beliau. Aku dengar negeri Arab itu penuh berkah. Di situ ada tanah suci, tempat berkumpulnya orang suci, yang melakukan amal-amal suci. Kalau aku ingat Ka’bah, air mata meleleh. Aku ingin mencium Hajar Aswad, tapi aku orang yang tidak mampu. Jika segala harta yang kumiliki termasuk harta keluargaku – ayah, kakek dan saudara-saudaraku – dijual, tetap tidak cukup untuk ongkos naik haji.

Aku juga kepingin pergi ke Negara Arab untuk melihat Negara Islam. Kata pak Kiai, hukum yang berlaku disana hukum Islam, berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. Aku bahagia sekali ketika ada orang dari Jakarta berjanji untuk mengirmkan anakku sebagai pembantu di negeri Arab, mungkin di Makkah, Madinah atau kota-kota lainnya. Aku menjual apa saja untuk membiayai dia. Aku jual tanah warisan yang tidak seberapa besar. Orang Jakarta itu baik sekali. Ia menutup sisa biaya dia sebagai pinjaman. Aku berjanji akan mengembalikan pinjaman itu kalau ada kiriman dari anakku.

Setelah urusan yang cukup lama dan melelahkan, setelah Yati ditampung di tempat yang sempit beberapa bulan, ia jadi berangkat. Mendengar kabar itu, kami sekeluarga mengadakan selamatan. Pak Kiai membaca do’a untuk Yati. Mudah-mudahan ia bisa naik haji dan membawa orang tuanya naik haji juga. Ketika aku mengantar Yati ke bandara, aku menangis bahagia. Dalam pakaian seragamnya, aku melihat Yati sangat cantik.

Aku mengangkat tangan, “Tuhan, anakku ingin bekerja di Tanah Suci, supaya ia bisa haji dan menghajikan orang tuanya. Kuatkan tubuh anakku di tanah panas itu, supaya ia bisa mengirim uang belanja untuk membayar utang-utang kami.” Aku hanya sempat mengusap kerudungnya, ketika ia didorong petugas untuk masuk ke dalam bandara.

Setelah tiga bulan, aku menerima surat Yati. Ia mengeluh, majikan perempuannya sangat keras. Ia tak boleh beristirahat. Ia sering dimaki dan disakiti. Aku kirim jawaban. Aku beri nasihat. Sabarlah kata Pak Kiai juga, urang Arab tuh karas barataan. Anggap saja itu ujian. Tak ada lagi berita sesudah itu. Tak ada surat, apalagi kirim uang. Kepada yang berangkat haji, aku titip pesan untuk disampaikan kepadanya. Aku berharap Yati ada di antara jama’ah haji. Tetapi ketika pulang, mereka hanya bercerita bahwa tidak bisa menemukan Yati.

Aku menghubungi orang Jakarta yang baik itu. Tetapi tak seorang pun di kantor yang dapat memberikan penjelasan. Di sana aku menemukan wajah-wajah tidak ramah. Aku malah dibentak dan dilarang datang-datang lagi ke situ. Setelah lebih dari satu tahun, aku mendengar kabar yang mengejutkan. Yati berada di penjara bersama banyak kawan-kawannya.

Mereka umumnya bernasib sama. Mereka dijebloskan ke penjara karena berusaha mempertahankan kehormatan mereka. Yati bercerita tentang dua orang Madura, suami-isteri, yang dipancung. Keduanya TKI. Lelaki Madura tak tahan dengan perlakuan tuannya pada isterinya. Demi kehormatan isterinya, ia membunuh majikannya. Yati dan kawan-kawannya melawan ketika tubuhnya diraba-raba. Ada yang lari ke dapur untuk mengambil pisau: membunh tuannya atau dirinya sendiri. Masih menurut Yati, banyak juga temannya yang membunuh diri.

Aku mula-mula tidak percaya. Mana mungkin di tanah suci ada kejadian seperti itu. Bukankah di Makkah dan Madinah para haji berbuat dosa, sekecil apa pun, di balas Tuhan di saat itu juga. Sampai bulan yang lalu, dari koran dan TV, dari cerita di kampung, aku mendengar ada kawan Yati yang dipancung. Seorang lagi tengah menunggu giliran. Semenjak itu, aku rajin menonton berita di TV – meski hanya nginap di tetangga sebelah.

Aku yakin Yati tidak termasuk yang bakal dipancung. Ia tidak membunuh siapapun. Ia hanya lari untuk mempertahankan kehormatannya. Namun hatiku tak pernah tenteram. Sering tengah malam aku terbangun. Aku bermimpi melihat leher Yati ditebas pedang. Aku masih mendengar jeritan Yati, “Abah, tulung ulun Bah!”

Aku orang kampung, bodoh, tidak mengerti agama. Banyak yang tidak ku mengerti. Hukum Islam itu hukum Tuhan. Tuhan Maha Adil. Tetapi, aku merasa hukum yang berlaku di negeri para Nabi itu tidak adil. Aku takut menyebut Tuhan tidak adil. Ya Allah, ampuni aku. Aku bingung. Adakah di antara Bapak yang dapat menjelaskan kepadaku: Betulkah dalam hukum Islam tidak dikenal pembela? Betulkah dalam hukum Islam orang boleh dihukum begitu saja, hanya berdasarkan tuduhan orang lain? Betulkah bahwa di Negara Islam, orang kecil seperti pembantu tidak dapat membela diri bila dianiaya majikannya; dan majikan bisa memberlakukan anak orang sekehendak hatinya?

Aku tak tahu nasib Yati. Aku tidak mendengar berita yang jelas dari mana pun. aku tidak akan datang ke kantor mana pun di Jakarta. Karena makin banyak bertanya, aku makin bingung. Penjelasanya macam-macam. Kata-katanya sulit dimengerti. Eh,,, maaf, ada juga yang saya fahami. Katanya, dulu pemerintah Indonesia pernah berjuang untuk mengadili Rina di Indonesia. Rina membunuh di Malaysia, tetapi akhirnya diadili di Indonesia. Mudah-mudahan pemerintah Indonesia akan mengambil Yati dan mengadilinya di sini. Sekiranya ia harus hukum mati, aku ingin melihatnya mati di sini. aku ingin memeluknya untuk terakhir kalinya. Dulu, aku hanya sempat mengusap kerudungnya saja. Semoga.

Entri Populer

Labels

Blog Archive