Langsung ke konten utama

Panjul dan Syari’atnya

Daerah kami dikenal sebagai wilayah yang penuh dengan suasana kerukunan, saling menghargai, bahkan saling mengasihi antar agama. Kaum Muslim dan Kristiani sangat akur bahkan tidak sedikit yang saling kawin mawin (ada yang murtad, ada juga yang muallaf, termasuk ada juga yang saling bertahan dengan keyakinan masing-masing). Intinya, perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk kebersamaan. Kendati demikian, ummat Kristiani lebih dominan. Bisa dibilang perbandingannya 70-30. Setiap kelurahan pasti ada gereja, bahkan jumlahnya bisa mencapai 10.

Alkisah, di lingkungan kami ada seorang muazin bersuara jelek, namanya Panjul. Ia memanggil orang shalat di daerah saudara-saudara Nasarah. Kami membujuk dia untuk tidak menjeritkan—maaf, maksudnya, melantunkan—azan. Kami khawatir, suara itu akan mengganggu orang-orang Kristen. Mereka akan keberatan. Bisa-bisa azan itu akan memicu kerusuhan sosial (Sara). Panjul menolak bujukan kami. Ia marah dan mengira kami melarangnya menegakkan sunnah Rasulullah saw. Menurut Panjul, kami sudah kehilangan ghirah ber-Islam, penakut, iman kami lemah dan terlalu mengalah pada ummat non-muslim. Syariat sudah dicampakkan hanya untuk kepentingan kesatuan dan persatuan. Jadi, dengan argumentasi seperti itu, Panjul berazan lagi dengan semangat yang lebih tinggi dan suara yang lebih jelek. Kami menunggu dengan cemas ledakan kemarahan ummat Kristiani.

Dalam keadaan demikian, datanglah ke masjid seorang ibu paruh baya yang menghuni gereja di seberang jalan. Ia membawa jubah bagus, kopi dan gula. Ia bertanya, “Mana yang azan tadi? Aku ingin memberikan ucapan terima kasih padanya dengan hadiah ala kadarnya ini” Kami heran. Mana mungkin suara sejelek itu menyenangkan siapa pun, apalagi non-muslim. “Suara panggilan salat itu masuk ke dalam gereja kami,” kata ibu tadi.

Si Ibu melanjutkan, “Aku mempunyai seorang gadis jelita. Ia ingin menikah dengan mukmin yang sejati. Keimanannya sangat bergelora. Aku takut keimanan itu membuatnya masuk Islam. Setiap hari aku tidak bisa tidur dengan tentram. Aku khawatir, gadisku itu akan meninggalkan agamaku. Aku tak tahu bagaimana caranya menghilangkan kecemasanku ini. Tibalah suatu saat ia mendengar suara azan. Ia berkata pada adiknya, ‘Teriakan apa yang menyakitkan telinga ini? Belum pernah sepanjang hidupku aku mendengar suara seperti itu di gereja.’ Adiknya berkata, ‘Suara itu namanya azan. Dengan suara itu orang Islam dipanggil untuk melakukan shalat.’ Ia tidak percaya. Ia bertanya kepada beberapa orang untuk meyakinkan hatinya. Setelah tahu pasti bahwa itu suara azan, raut wajahnya berubah. Aku melihat kebencian tampak pada mukanya. Betapa senangnya hatiku. Lepas sudah segala kecemasan dan ketakutanku. Terimalah hadiahku ini, berikanlah kepada kawan kalian yang azan tadi. Malam ini aku pasti tidur dengan tentram.”

Bersyukur sekali, efek dari suara Panjul itu hanya membuat seorang yang berencana masuk Islam menjadi batal. Apa jadinya jika yang terjadi adalah ketersinggungan sosial? Nampaknya Panjul ingin membuat daerah ini menjadi wilayah yang menakutkan. Karena Panjul, keindahan syariat Islam menjadi tertutup karena cara mengamalkannya yang miring. Alih-alih ingin membentuk sistem Islam tapi menggunakan cara tidak “Islami”.

Panjul mencita-citakan sebuah negeri yang menembaki laki-laki yang tidak berjanggut dan melarang perempuan bekerja. Ia menginginkan sistem politik yang tidak memberikan kebebasan warganya menyampaikan pendapatnya dan menjalankan agama sesuai dengan apa yang dipahaminya.

Oh Panjul, tak bisakkah Kau menampilkan wajah Islam yang merdu, bukan yang keras dan menakutkan? Bukankah cara kita mengamalkan ajaran Islam akan mempengaruhi sikap orang lain terhadap Islam? Ayolah Panjul. Jangan tampilkan “wajah mengerikan”. Karena Islam itu indah, damai, santun dan asyik. Kita ini orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam, bukan orang Islam yang kebetulan tinggal di Indonesia. OK, Coy?  

(Kisah di atas disadur dari cerita yang dituliskan Jalaludin Rumi. Dan benar-benar terjadi di lingkungan kami)

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...