Langsung ke konten utama

Cinta, Toleransi dan Tou Minahasa

Suatu ketika, saya bersama istri yang sedang hamil besar, mengalami pecah ban motor.  Saat itu kami sedang menuju ke kampung halaman setelah beberapa minggu berada di Kota. Tidak tahu apa penyebab dari insiden kecil itu. Segera, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Dari belakang istri mengikuti, dan saya mendorong motor tersebut.

Peristiwa ini di malam hari. Rute jalan pun berliku dan menemui tanjakan yang tinggi. Sesekali melihat helaan nafas sang istri yang berbadan besar, saya merasa kasihan. Di saat yang sama, istri pun merasa iba dengan keadaan saya yang harus mendorong motor. Kami larut dalam saling mengasihani, ditambah kemelut cinta yang terus terukir.

Gelapnya perjalanan, semakin menyeramkan karena berada di tengah hutan tanpa terlihat satupun cahaya rumah warga. Terkadang, suara malam yang ditimbulkan oleh hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan membuat istri tak kuasa menjauh jarak. Wah, beban saya tidak hanya mendorong motor, kali ini harus menanggung beratnya dua manusia.

Dalam perjalanan, tiba-tiba datang sebuah bentor (becak dan motor) dari arah belakang. Pengendaranya kemudian menawarkan agar istri ikut bersamanya menuju kampung terdekat. Tentu, istri saya menolak. Istri bukan bermaksud mengkhawatirkan ojek bentor tersebut. Ia sangat percaya, bahwa masyarakat sekitar sangat menghargai kemanusiaan. Satu hal yang membuatnya menolak tawaran bentor itu, dia terlalu mencintai saya. Ia tak tega membiarkan saya mendorong motor di tengah hutan yang gelap gulita. Ya, inilah cinta.

Hm…

Saya bukan bermaksud menulis tentang kisah cinta. Ada hal yang menarik dari peristiwa tersebut. Ketika kami sampai di kampung pertama, ada sebuah warung makan, kami merapat dan mencoba mencari tahu apakah di tempat itu menjual pulsa sekaligus mencari tahu di manakah letak bengkel motor. Di warung ini, kami dengan seorang pemuda yang sedang mabuk keras. Terjadi percakapan diantara kami.

“Bung, boleh tahu dimana bengkel motor?” Saya mengawali perbincangan. “Oh, agak jauh kesana..” Pemuda tersebut menunjuk arah jalan ke bengkel. “Kalian mau kemana?” ia melanjutkan. “Kami mau menuju ke Desa Tumbak. Kebetulan motor ini ban-nya pecah” Keluh saya.

Ketika saya melanjutkan pertanyaan tentang pulsa, pemuda ini salah mendengar. Ia mengira, saya bertanya ada menu makan apa diwarung makan ini. Spontan ia menjawab “Oh, jangan. Sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan hingga ke kampung sebelah. Disana ada rumah makan yang menunya halal. Maaf, disini hanya makanan yang mengandung babi” ia menerangkan.

Mendengar jawaban tersebut, saya sedikit tersenyum, sembari merasa salut. Kendati ia salah mendengar pertanyaan saya, jawabannya memberi inspirasi buat kami. Betapa baiknya pemuda itu. Ia tidak ingin menjebak kami untuk menyantap makanan yang ada di rumah makan tersebut. Bagi saya, ia memiliki sikap toleransi, kendati ia dalam keadaan mabuk. Pemuda tersebut adalah orang Minahasa, dimana meneguk minuman keras sudah menjadi tradisi mereka. Pemuda itu pun tahu, kami orang Tumbak, yang notabene muslim.
Setelah perbincangan itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju bengkel.

Terimakasih Tou Minahasa !

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...