Langsung ke konten utama

Gus Dur Tiada Habisnya



Nampaknya, membincangkan Abdurahman Wahid (Gus Dur), hampir tidak menuai kata henti. Kendati ia telah 'pergi', nafas perjuangannya masih terasa hingga kini. Lihat saja kutipan-kutipan banyak penulis, peneliti, akademisi bahkan para tokoh agama hampir sering mereka menyebut nama Gus Dur. Pemikiran dan kepribadiannya sering menjadi bahan ajar bagi pekerja sosial keagamaan yang pro demokrasi, toleransi dan kebhinekaan.

Pada masa hidupnya, Gus Dur memiliki pesona dan kharisma luar biasa, maka tak heran jika mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini menjadi ikon pemikiran Islam di Indonesia, bahkan diakui negara-negara internasional. Almarhum telah berhasil mengembangkan teologi Islam yang ramah, terbuka dan berpihak kepada kaum lemah tanpa memandang identitas orang lain. Oleh karenanya, ia pun mendapat sebutan sebagai bapak Pluralisme bangsa. Kesatria demokrasi.

Lahir sebagai santri di tengah-tengah keluarga yang merupakan santri pula, Gus Dur telah memperlihatkan komitmen keislamannya. Kendati mengenyam pendidikan pesantren di Jawa dan berkelana ke Timur Tengah, nyatanya Gus Dur justru tidak pernah menyelesaikan studi formalnya. Uniknya beliau lebih menikmati dunia literasi, wayang, sastra dan seni budaya. Sambil mencicipi buku-buku kiri yang dipelopori Marx, Lenin dan lainnya. Tetapi, gagasan Islam Rahmatan lil 'alamin yang berbasis pada kesejukan senantiasa menjadi warna gerakan pemikiran Gus Dur.

Latar belakang Gus Dur yang demikianlah turut berperan dalam pengembangan wacana keislaman tanah air yang menggemparkan. Beliau sering membuat publik menyoroti perkataan dan kebijakannya. Teringat, ketika ia mengungkapkan bahwa "assalamu 'alaikum" bisa diganti dengan ucapan "selamat pagi/siang". Bahkan untuk masalah ini, Kiai-kiai NU pun harus menggelar tabayyun kepadanya. Belum lagi advokasi yang ia lakukan terhadap Ratu Ngebor Inul, warga Syiah, Ahmadiyah dan kaum minoritas lainnya. Akhirnya, ia pun sering berhadapan dengan kekuatan Islam Kagetan.

Meski Gus Dur harus mendapat serangan dari kelompok-kelompok skriptual karena pemikiran dan praktik keagamaan, beliau tidak pernah khawatir dan takut menghadapinya.

Bermodalkan nasab yang dihormati, mengelola organisasi Islam terbesar di dunia serta kemampuan intelektualitas yang matang, turut membuat Gus Dur semakin kuat dan senantiasa eksis untuk melanjutkan cita-cita membela yang benar. Ia begitu disegani oleh hampir semua kalangan. Mulai dari rakyat biasa, akademisi, birokrat hingga kaum elit sekalipun, semakin membuatnya menjadi tokoh yang populis.

Disebut populis karena memang Gus Dur ditipologikan sebagai penganut demokrasi yang bekerja dari saluran rakyat. Tidak elitis. Cara ini telah memberdayakan masyarakat sipil sebagai "alat perlawanan" terhadap kebijakan elitis para penguasa. Dengan demikian, kepemimpinan Gus Dur sejak awal berhasil menjadikan kaum pinggiran untuk diberdayakan demi memperoleh hak kehidupan yang hakiki. Gus Dur begitu konsisten dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ia serius membela ketiadaan dominasi, tanpa ragu dan tanpa mengenal kata mundur.

Sekali lagi, membincangkan Gus Dur tidak menuai kata henti. Karena memang Gus Dur tiada habisnya. Kawan-kawan penerbit Renebook menggambarkan Gus Dur sebagai berita, guyonan, kritikan, pakaian, sepak bola, pemerintah, partai dan semuanya. Ia pelopor bukan pengekor. Ia leader, meskipun terkadang membuat pengikutnya kebingungan. Pemikiran Gus Dur jika tertolak hari ini, ternyata memiliki pembenaran dikemudian hari. Demikianlah Kiai yang satu ini. Ia populis dan tiada habis-habisnya. Kami merindukanmu Gus...

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...