Langsung ke konten utama

Benarkah Masa Lalu Menentukan Masa Kini ?

Selama ada perbedaan, konflik begitu menganga... 
Jika toh ia terjadi, pastikan kita mengelolanya agar bisa menemukan kebaikan di dalamnya. Tapi, sebaik-baiknya, tidak ada konflik.
Syafieq Bill


"Sejak dulu, konflik agama sudah ada. Tak perlu lagi dipersoalkan. Mau diapakan lagi, tetap saja jika ada perbedaan, konflikpun tak terhindarkan." Kurang lebih begitu kawan saya berujar. Ia telah memvonis kenyataan sejarah memang selalu ada. Apa yang telah terlihat pada sejarah, maka ia akan terus begitu. Kawan tersebut sudah terbiasa menganggap masalah sosial yang terjadi hari ini memang sebuah keniscaayan yang tak bisa diganggu gugat.

Tidak sedikit diantara kita berada pada cara pandang seperti kawan Saya itu. Setiap kondisi yang terjadi sekarang merupakan implementasi dari peristiwa masa lalu. Orang seperti ini menjadikan sejarah sebagai biang persoalan masa kini dan yang akan datang. Melihat kebelakang adalah sasaran empuk untuk menjawab setiap keadaan yang ada. Dari sini, kita bisa menganggap cara pandang demikian merupakan kelumrahan sekaligus menyesatkan.

Jika fakta sejarah menegaskan bahwa konflik antar agama benar-benar adanya, tetap saja tidak bisa dijadikan pembenaran untuk munculnya konflik-konflik baru berbasis perbedaan agama. Seharusnya, kenyataan historis itu menjadi petunjuk untuk menata masa kini dan yang akan datang. Jika tidak, kekeliruan berpikir ala kawan Saya tadi itu mendapat penghargaan setinggi-tingginya. 

Problem sosial, berbeda dengan hitungan matematika. Tidak ada sejarah kehidupan manusia yang dapat membantah dan merubah hasil 1 + 1 = 2. Karena begitulah matematika. Sedangkan masalah sosial selalu mendapatkan ruang untuk dikelola, dikonstruksi bahkan direkayasa untuk menuju kepada cita-cita kehidupan yang hakiki. Melihat ke belakang adalah keharusan, namun bukan untuk menjadi pembenaran atas kenyataan masalah sosial yang hari ini terjadi. 

Konflik agama, pernah ada. Tapi ia bisa dihilangkan dengan segala cara dan upaya, sekaligus ia pun bisa muncul kapan saja. Jika semua orang sepakat saling menghargai kendati berada pada nadir perbedaan, maka konflik tak akan muncul. Salah satu caranya adalah dengan tidak terjebak pada restrospektive, yakni sebuah pemikiran yang memvonis bahwa masa lalu telah menentukan masa kini.

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...