Langsung ke konten utama

Humanisasi atau Dehumanisasi ?

Di sebuah ruas jalan, seorang remaja berseragam mengayun-ayunkan senjata tajam dan menusuk perut pemuda lainnya ketika dua kelompok pelajar “berpesta” tawuran. Orang terpana, mengapa si pelaku tak cukup dengan memukul atau melempar batu saja? Mengapa dia (si korban) harus dibunuh? Bukankah pembunuhan itu tak perlu sama sekali?

Di sebuah sudut jalan lainnya, seorang pelaku kriminal dibantingkan kepalanya di aspal, setelah digebuki. Orang heran, mengapa polisi tega menyiksa orang yang baru dikenalnya.

Bukankah orang itu tak pernah berbuat sesuatu yang menyakitkan polisi tersebut? Di manca-negara, seorang pejabat keduataan Amerika dibantai oleh sekelompok demonstran yang tersinggung karena pemimpin mereka dihina oleh salah seorang berkebangsaan Amerika. Orang kebingungan. Kenapa para demonstran tidak hanya melakukan orasi mengutuk penghinaan itu, justru mengambil nyawa orang yang sesungguhnya bukan pelaku pelecehan?

Mengapa manusia dengan tangan dingin menyiksa sesama manusia tanpa alasan yang jelas? Mengapa ada manusia yang sanggup melakukan tindakan kekerasan tanpa rasa bersalah, tanpa hambatan moral?

Pada fitrahnya, manusia itu tidak suka kekerasan, apalagi pembunuhan. Ia terpaksa membunuh karena frustasi, atau terancam. Dalam kasus pelajar, polisi dan demonstran, kita tidak melihat unsur frustasi itu, apalagi ancaman. Apakah pelajar itu menghambat si pelaku pembunuhan untuk mencapai tujuannya?

Apakah oknum aparat itu diancam oleh si pelaku kriminal, sehingga ia merasa terpojok? Apakah pejabat keduataan itu menggunakan senjata api ketika “melayani” para demonstran? Sepanjang sejarah, kita sering menyaksikan orang-orang lemah dianiaya oleh orang-orang kuat; yang kuat menyiksa yang lemah bukan karena frustasi atau situasi terancam.

Kita dapat membuat daftar panjang tentang orang-orang yang disiksa ketika mereka lemah, dan menyiksa ketika mereka berkuasa. Jelas, teori frustasi dan ancaman tak relevan menjelaskan semua gejala kekerasan.

Artinya, ada kondisi lain yang membuat orang melakukan tindakan kekerasan. Setidaknya ada tiga kondisi. Pertama, ia melakukan sesuatu karena ditugaskan untuk itu. Ia hanya menjalankan perintah, peraturan, atau prosedur. Dengan begitu, ia dilepaskan dari tanggung jawab. Ia tidak bersalah. Ia hanya sekadar pelaksana.

Tanyalah para Satpol PP yang memporak-porandakan dagangan pedagang kaki lima, apakah mereka tidak tersentuh oleh tangisan para penjualnya? “Saya hanya menjalankan tugas, Pak.” Tanyalah para petugas yang menggebuki pelaku kriminal. Tidakkah jeritannya memilukan hati mereka? “Saya hanya mengikuti prosedur, Pak.” Mana mungkin penjahat dapat disidik secara halus. Nah, keadaan seperti ini sering disebut dengan istilah otorisasi.

Kedua, kekerasan dijadikan pekerjaan biasa, bahkan dimasukkan ke dalam cara kerja birokratis. Dengan begitu, hambatan moral dilumpuhkan. Pada tingkat tertentu, hambatan diubah jadi dorongan moral. Kekerasan bukan saja dirutinkan, tetapi dijustifikasi sebagai tindakan yang luhur. (Kejahatan seperti ini pernah menghiasi Indonesia pra-revormasi. Namun belakangan, kasus seperti ini mencuat lagi. Sebut saja kasus Munir)

Ketiga, korban dijauhkan dari kemanusiaannya. Jatidirinya dihilangkan. Supaya mahasiswa atau pelajar senior dapat memperlakukan adik angkatan baru seenaknya, mereka mengganti nama mahasiswa atau pelajar baru dengan nama-nama jelek. Supaya para tawanan dapat disiksa dengan tak semena-mena, namanya diganti menjadi simbol-simbol. Supaya sekelompok manusia dapat difitnah, dirampas hak-haknya, dibunuh seperti kita membunuh nyamuk, dan hilangkan gelar-gelar kemanusiaan mereka. Korban dituduh “sesat,” “komunis,” “kafir,” “pemberontak,” “penjahat,” dan istilah-istilah apa saja. Ini yang disebut dehumanisasi.

Jika Anda melakukan tindakan kekerasan (yang jauh dari keadaan frustasi), maka Anda berada diantara kriteria tiga kondisi di atas. Kekerasan adalah agenda Anda, pekerjaan Anda, sekaligus tujuan hidup Anda. Apabila disuruh mengkader seseorang, Saya memilih menggunakan teknik humanisasi; menjinakkan dan melembutkan hati. Bukan dehumanisasi; sebuah teknik untuk meliarkan dan mengeraskan hati yang akhirnya membentuk kader berdarah dingin. Kalau Anda, pilih cara mana?

(Celoteh ini pernah di muat beritamanado.com/)

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...