Langsung ke konten utama

Sungai, Air, Semen dan Mas Yus

Dikampung Saya, air sungai adalah sumber kehidupan. Kami minum, makan, mandi, cuci pakaian dan lain sebagainya, memanfaatkan sungai. 
Sekarang, ketika air galon yang komersil itu hadir, kami merasa 'jijik' untuk meminum air sungai. 
Dengan ini, kami menghina keberadaan sungai. Ia pun merajuk... 



Mas Yus, yang menghadap kesini. Saya kesana.
“Masalahnya begini, Bill. Tanah kita sudah dipenuhi semen (baca; bangunan). Ketika hujan turun, air tidak lagi menyerap ke tanah. Ia mengalir. Berkumpul bersama teman-temannya yang bergerak mencari titik rendah. Sungai biasanya menjadi jalur perjalanan mereka. Kondisi sungai yang tak kuasa menampung air hujan itu, menyebabkan terjadinya arus deras dan akhirnya ia kembali ke atas semen tadi. Gabungan air hujan dan sungai inilah yang kita sebut, banjir.

Saya asyik mendengar ‘ceramah’ Romo Yustinus Sapto Hardjanto. Sudah lama tak mendapat wejangan dari beliau. Dulu, kala masih berstatus mahasiswa, Sang Romo sering Saya kunjungi untuk diskusi dan bertukar pikiran. Semenjak Saya menetap di Manado, dan beliau di Samarinda, gagasan-gagasan Romo Yustinus hanya bisa dinikmati melalui catatan ringan di akun Facebooknya. Saya menganggap orang Jawa yang pernah lama di Manado dan menetap di Samarinda ini sebagai suhu paling banyak tahu banyak hal. Saya bertanya, beliau tetap punya jawaban. Hehe…

Saat ini, Mas Yus, sapaan akrabnya, sedang disibukkan sebagai aktivis pecinta sungai. “Sungai bagian dari ruang hidup. Jangan maknai ia sebagai saluran pembuangan air menuju laut. Ia juga punya peran yang secara kodrati sangat bermanfaat bagi kehidupan”, ungkapnya. Begitu jarang orang yang berpikir seperti Mas Yus. Kecenderungan orang memahami posisi sungai sebagai jalur untuk meneruskan aliran air dari berbagai titik. Air parit, air hujan, air dari persawahan dan bahkan air dari pegunungan menyatu mengalir ke sungai. Disini, sungai diposisikan sebagai tempat pembuangan “sampah”, baik sampah air itu sendiri hingga sampah-sampah kotoran pada umumnya.

“Kamu harus tahu, Bill. Kita mesti mengembalikan fungsi utama sungai yang meliputi aspek ekologi, hidrologi, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.” Mas Yus menambahkan.

Sesungguhnya, Mas Yus ingin mengajak Saya dan kebanyakan orang untuk benar-benar mencintai sungai serta memposisikannya sebaik-baiknya. Anugerah Tuhan melalui sungai sepantasnya dikelola dengan baik. Sungai itu hidup. Ketika ruangnya dieksploitasi dan “dihancurkan” manusia dengan dalih pembangunan, maka jangan heran jika ia bergerak mencari ruang hidup lain demi melanjutkan cita-cita masa depannya. Ia “menerobos” melalui semen-semen. Berselancar disudut bahkan di tengah-tengah kota yang telah ditumpuk oleh aspal dan bangunan-bangunan megah. Ketika ia beraktivitas seperti ini, kita menyebutnya banjir. Kita, lewat penguasa, menghambur-hamburkan uang justru untuk mengeruk saluran sungai. Itu pun, tetap saja tidak membuatnya menjadi baik, bahkan semakin merusak dan mengganggu ruang hidupnya.

Air banjir hakikatnya sedang kembali pulang. Ketika tetesan hujan tak lagi mendapat tempat di tanah-tanah yang menyerapnya, sungaipun terpaksa menampungnya. Seberapa besar kemampuan sungai menampung air dari berbagai sumber itu? Apalagi kebanyakan sungai di kota “dipercantik” dengan semen (betonisasi) pada pinggir kiri-kanannya. Lagi-lagi, semenisasi itu malah hanya membuat air tak “bersetubuh” dengan tanah yang seyogyanya mereka memanglah pasangan indah.

“Jadi, Bill. Kita mesti sampaikan kepada semua orang, utamanya mereka yang hari ini duduk sebagai penguasa. Jangan buat kebijakan pembangunan yang justru memperparah keadaan. Seriusnya memahami keberadaan sungai dan mengelolanya dengan baik pula. Bagi Saya, kalau mengabdi bersama sungai adalah salah satu cara menuju ke surga.” Romo mengakhiri percakapan. 

Obrolan terhenti. Saya masih ingin meneruskan pembahasan. Selanjutnya Saya butuh informasi dari Mas Yus tentang sungai yang berfungsi meliputi aspek ekologi, hidrologi, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Mudahan, diskusi selanjutnya bisa menjelaskan semua itu, dan seperti biasa, akan Saya tulis lagi secara ringan di blog ini. Terima Kasih diskusinya, Mas.

Postingan populer dari blog ini

Quantum Learning... !

Semasa menjadi kepala sekolah di SMA Alhikam, Desa Tumbak Kec. Pusomaen Kab. Minahasa Tenggara, Aku punya murid paling berandal. Hampir setiap hari malas sekolah dan pekerjaannya mengganggu orang lain. Bahkan tercatat beberapa kali berkelahi.  Dia perokok. Tapi Aku belum pernah tahu dan apalagi melihat ia minum minuman beralkohol. Jika toh ia pernah mabuk-mabukan, Aku yakin itu tidak dilakukan saat sekolah. Namun merokok, adalah pemandangan yang sering ku lihat saat ia masih berseragam.  Suatu ketika, di belakang gedung sekolah, ia dan teman-temannya sedang asik menikmati gumpalan asap rokok. Aku meradang. Rasa-rasanya ingin ku gampar satu persatu, terutama si berandal itu. Tapi Aku khawatir. Bertindak, harus dengan pikiran jernih. Mereka semua siswa yang secara fisik dan mental teruji bertindak anarkis. Bukannya takut, Aku hanya tidak ingin ada berita beredar, guru pukul murid, murid pukul guru, guru murid baku pukul. Jelasnya, Aku pasti kalah. Mereka gerombolan soalnya. Aku ...

SATPOL PP dan PKL

Suatu ketika, SATPOL PP bikin ulah lagi. Kali ini target operasinya di sebuah pasar tradisional yang udah ada Perda bahwa pedagang tidak di izinkan untuk beraktivitas dagang di lokasi tersebut. Ada penjual langsat. Belum sempat melarikan diri, barang dagangannya di hambur oleh PP. Karena dianggap melawan, salah seorang Satpol PP mengambil sebuah langsat dan dimasukkan ke lubar “ubur” (pantat) si pedagang kecil. Ia pun menagis dan berteriak histeris. Tak puas dengan ulahnya, SatPol PP melangkah ke jalan berikutnya, mereka menemukan penjual salak. Seperti biasa, salah seorang PP memasukkan barang dagangan tersebut ke dalam pantat pedagang. Anehnya, pedagang tersebut tidak marah, mengangis dan berteriak kesakitan. Tapi justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ditanya PP “Kenapa kamu tertawa?” tanya PP. “Hehehe, pak-pak... saya tertawa membayangkan, di sebelah saya ada teman yang lagi jualan Durian. Kasihan pantatnya bakal di masukkin durian... kikikikik” lucon si pedagang.

Lampu Botol, Merawat Tradisi Melawan Kolonialisasi

"Besok, Kamu pergi ke pasar, cari pedagang yang menjual lampu botol. Beli 5 buah ya !" Perintah Ibu kepadaku.  "Memangnya, buat apa lampu botol itu, Ibu?"  "Loh, ini kan sudah akhir Ramdhan. Sudah menjadi tradisi keluarga kita sejak dulu untuk menyalakan lampu botol diakhir Ramdhan." Ibu menjelaskan. Karena masih penasaran, Aku terus mengejar dengan pertanyaan. "Boleh Ibu jelaskan, mengapa tradisi ini harus ada?" "Nak, Ibu tidak tahu persis dengan makna hakikinya. Ibu hanya pernah dijelaskan singkat oleh kakekmu. Menurutnya, lampu botol ini bermakna untuk menyambut lailatul qadar. Karena dulu tidak ada listrik. Sementara untuk menyambut malam ganjil yang special itu, masyarakat harus menerangi rumah dan lingkungannya. Selain itu, masih menurut kakekmu, lampu botol ini dipasang karena banyak masyarakat yang akan membagikan zakat fitrah setelah Tarawih. Jadi butuh penerangan." Terang Ibu. Aku masih belum puas d...